Jumat, 22 April 2011

PENGARUH TV TERHADAP ANAK


“PENGARUH TV TERHADAP ANAK”

Kata Pengantar
Dengan terlebih dahulu mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya karya ilmiah ini dapat juga diselesaikan . Dengan judul “ Pengaruh Flu Burung dalam Kehidupan dan Pencegahannya “.
Oleh karena itu , pada kesempatan ini saya sebagai penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada mereka yang telah banyak berperan dalam proses pembuatan atau penulisan karya ilmiah ini .
Saya sebagai Penulis menyadari bahwa sebagai suatu karya ilmiah ini masih banyak kekurangannya maka untuk itu penulis membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun guna lebih sempurnanya karya ilmiah ini .
Akhirnya saya sebagai penulis mengucapkan Terima kasih kepada Bapak atau Ibu Pengajar yang mau menerima Karya Ilmiah Ini.
Daftar Isi
Kata pengantar
Daftar isi
Bab 1 Pendahuluan
A.Latar Belakang
B.Rumusan masalah
C.Tujuan dan Manfaat penulisan
D.Metode Penulisan
Bab 2 Pembahasan
A. Hasil Penelitian
B. Pengaruh TV
- Pengaruh terhadap Perkembangan anak
- Pengaruh terhadap Kesehatan
- Pengaruh terhadap kecedasan
C. Tips untuk mengurangi anak menonton TV
Bab 3 Penutup
a. Kesimpulan
b. Saran
Daftar pusaka
Lampiran
Bab I-Pendahuluan
  1. Latar belakang masalah
Perkembangan sarana komunikasi dan informasi sangat pesat di era globalisasi ini . di abad ke 21 ini, sudah banyak alat komunikasi dan informasi. bahkan sekarang sudah tercipta alat komunikasi yang ringan dan mudah dibawa yaitu netbook dan handphone/ ponsel dengan fasilitas televisi .
Pada kesempatan ini kami akan menjelaskan televisi. Televisi adalah sarana komunikasi dan informasi yang telah dikenal banyak orang yang dapat menyajikan gambar dan suara . kita sudah sering menjumpai televisi di rumah–rumah ,bis pariwisata , bahkan di ponsel.
Dengan adanya televisi , kita dapat mengetahui berita-berita yang sedang terjadi dimanapun . baik di dalam maupun di luar negeri .Banyak acara- acara di televisi yang menarik perhatian orang , dari acara , edukasi , berita, komedi , acara remaja , acara dewasa bahkan anak – anak. Hal ini membernarkan pepatah ”tiada hari tanpa menonton tv” karena hampir setiap orang menonton tv. Bahkan ada yang rela begadang demi untuk menonton acara tv . Bahkan, tidak sedikit dari kita yang menjadikan TV sebagai pengasuh, guru, penghibur atau bahkan sarana promosi dagang. Lalu, bagaimana dengan pengaruh tv tersebut ?
B .Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dikembangkan permasalahan pokok yang diteliti dalam karya ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh menonton tv bagi anak-anak khusunya pelajar ?
2. Bagaimana cara mengurangi menonton tv ?
C.Tujuan & Manfaat penulisan
  1. Memberitahukan tentang pengaruh tv
  2. Menambah pengalaman bagi penulis
  3. Menyeselaikan tugas dari Guru di sekolah
D.Metode penulisan
Karya tulis ini disusun dari beberapa sumber , yaitu media massa dan mengamati langsung ( sampel )
Bab II-Pembahasan
A. Hasil Penelitian
Sample diambil dari 40 siswa smpn 176 , kelas 8a
Dan kesimpulannya sebagai berikut :
  1. semua siswa suka menonton TV
  2. 29 dari 40 siswa menonton tv lebih dari 3 jam sehari .
  3. musik menjadi acara yang paling diminati , lalu disusul berita , kartun , komedi , film , olahraga , sinetron , reality show , documenter , infotaimanet
  4. 8 dari 40 siswa lebih memilih menonton tv daripada belajar
  5. 6 dari 40 siswa belajar hanya pada saat ada ujian
  6. 13 dari 40 siswa tidak mengkhawatirkan jika nilainya turun di sekolah kalau terlalu sering menonton tv.
  7. 6 dari 40 siswa tidak memiliki nilai yang bagus di sekolah
B. Pengaruh TV
Banyak sekali pengaruh pengaruh tv , disini kami akan memberikan bukti konkret ( nyata ) :
1. Pengaruh terhadap perkembangan anak
Sebuah penelitian regional yang melibatkan anak – anak Kanada , Australia , Amerika dan Indonesia dalam hal menonton televisi mendapatkan hasil yang menarik , yaitu anak Indonesia adalah penonton tv terlama , disusul Amerika , Australia dan yang paling rendah Kanada .
Hal ini tak lepas dari perubahan gaya hidup masa kini yang dianut sebagain besar orang tua di Indonesia: Sibuk bekerja, pengasuhan anak diserahkan kepada pengasuh serta berbagai faktor lain yang mengiringi.
Menonton televisi tampaknya membawa dampak negatif pada perkembangan anak dibanding dampak positif. Dari televisi anak-anak dapat menyaksikan semua tayangan, bahkan termasuk yang belum layak mereka tonton, mulai kekerasan dan kehidupan seks .
Salah satu contoh pengaruh tv terhadap perilaku adalah korban acara SMACK DOWN , korbannya adalah anak SDN Wates 4 di Jogja yang bernama Maryunani yang masih duduk di bangku kelas 3 SD harus di rawat di rumah sakit .
2. Pengaruh terhadap kesehatan
kecenderungan menonton tv terlalu lama akan meningkatkan angka obesitas pada anak-anak. Satu jam nonton tv misalnya, akan meningkatkan obesitas sebesar 2%. Karena selama menonton TV, , anak lebih banyak ngemil dan tak melakukan aktivitas olah tubuh.
Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. Saat nonton tv atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang digunakan . Saat anak nonton tv, kalori yang dibakar hanya sekitar 36 kkal/jam, padahal apa yang dia konsumsi jauh melebihi kalori yang digunakan. Anak - anak perlu aktif untuk bertumbuh.
Obesitas tak hanya berdampak buruk bagi kesehatan karena mengundang berbagai penyakit seperti hipertensi, diabetes, gangguan sendi, penyakit jantung koroner hingga stroke saat anak dewasa, namun juga dapat mengganggu psikologis anak. Ingat, obesitas akan terbawa saat anak dewasa jika tak ditangani secara baik. Mungkin ia akan merasa malu, rendah diri, bahkan merasa tak berharga karena memiliki tubuh 'berbeda' dibanding teman-teman di lingkungannya.
3. Pengaruh terhadap kecerdasan
Menurut penelitian yang kami lakukan 6 dari 40 siswa mengatan tidak memiliki nilai yang bagus di sekolah , dari data tersebut dia menonton TV lebih dari 3 jam sehari .
Menurut hasil penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement.
Arch Pediatr Adolesc Med 2005, bahwa menonton tv saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun.
Sedangkan penelitian lain mengenai pengaruh tv terhadap IQ anak mendapati hasil bahwa anak di bawah 3 tahun yang rajin menonton televisi setiap jamnya ternyata hasil uji membaca turun, uji membaca
komprehensif turun, juga memori. Yang positif hanyalah kemampuan mengenal dengan membaca naik. Dari situ disimpulkan bahwa menonton tv pada anak di bawah 3 tahun hanya membawa lebih banyak dampak buruk dibanding efek baiknya.
C. Tips untuk mengurangi Anak menonton TV
1. Memperbaiki pola menonton TV pada orang tua
Sebelum kita koreksi dan perbaiki pola menonton TV pada anak, sebaiknya kita koreksi dulu bagaimana pola kita menonton TV. Karena orang tua adalah figur bagi anak-anak. Apa saja yang dilakukan oleh orang tua akan begitu mudahnya dilakukan anak-anak pula. Kalau orang tua menonton TV kapan saja dan melihat acara apapun tanpa kendali dan tanpa control, tentu anak akan mengira bahwa TV memang suatu yang biasa ada dan sah saja dilihat dan dinikmati kapan saja mereka suka. Kalau orang tua dating darimanapun yang disamperi pertama TV, atau dalam rumah itu pagi, siang, sore, larut malam, dini hari TV terus menerus hidup, maka anak-anak akan meniru pola orang tua menghadapi televisi. Dan mereka akan menganggap TV sebagai suatu pelengkap yang harus ada, dan akan terasa hambar apabila ia tidak ada. Sudah semestinya orang tua berusaha terlebih dahulu untuk mengendalikan diri. Tonton TV seperlunya saja dan lakukan diet menonton TV.
  1. Buat jadwal menonton TV
Buatkan anak-anak jadwal menonton TV. Misalnya Minggu jam 16.00 – 17.00 lihat kartun Dinosaurus, Senin jam 14.00 – 15.00 liaht acara game anak dsb. Dengan begitu anak-anak akan terlatih untuk disiplin serta akan banyak terkurangi waktu mereka di depan TV. Pada awalnya mungkin mereka sangat sulit untuk menepati jadwal yang telah ditentukan, tapi lama kelamaan anak akan terbiasa. Ajaklah anak untuk mendiskusikan berbagai acara anak yang ada di televisi. Berilah penjelasan kepada anak mengapa sebuah acara atau film kartun tidak boleh dilihat. Dan berilah kesempatan anak untuk mengemukakan pendapatnya.
Apabila mereka mengajukan usul untuk melihat sebuah
acara anak tanyakan alas an mereka memilih acara tersebut. Kalau alas an mereka baik dan tepat tentu sepatutnya kita beri ijin mereka untuk menyaksikan acara tersebut.
  1. Dampingi anak melihat TV
Selama ini kebiasaan kita, kalau anak-anak asyik menonton TV tentu kita bias melakukan banyak kegiatan lain, tanpa terganggu oleh mereka. Tapi jika kita ingin anak-anak tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negative yang ditimbulkan oleh TV, maka sebagai orang tua kita harus mendampingi anak saat melihat TV. Dengan demikian kita akan tahu betul acara apa yang disaksikan oleh anak-anak kita. Kalau ada hal-hal yang tidak baik kita langsung bisa katakana pada mereka. Sehingga tidak terjadi sesuatu yang fatal karena kita terlambat mengetahui bahwa apa yang dikonsumsi oleh anak-anak kita adalah tontonan yang tidak sehat.
  1. Kegiatan pengganti
Saat kita sudah memutuskan untuk merubah pola menonton TV pada keluarga, maka akan lebih baik lagi kalau ornag tua membuat berbagai macam kegiatan pengganti yang disukai anak-anak. Banyak sekali kegiatan yang bisa kita lakukan bersama anak-anak untuk mengurangi kegiatan mereka menonton TV. Beberapa kegiatan di bawah ini mungkin bisa kita jadikan salah satu alternative sebagai pengganti nonton TV.
a. Melakukan berbagai macam permainan.
Banyak sekali permainan yang bisa dilakukan anak-anak seperti sepak bola, monopoli atau berbagai macam permainan tradisional seperti jamuran, gatheng, engklek dsb. Supaya lebih asyik ajak anak-anak tetangga/kerabat.
b. Membuat berbagai macam keterampilan tangan
Pilihlah ragam keterampilan yang mudah dilakukan anak-anak, dan ajaklah mereka membuatnya. Seperti membuat amplop, membuat tas/dompet dari kertas, membuat kartu ucapan selamat
c. Melukis/menggambar
Ajaklah anak pergi ke kebun atau ke tempat terbuka, ajak mereka melukis atau menggambar apapun yang mereka sukai dan mereka inginkan. Apapun dan seperti apapun hasil gambar berilah penghargaan
d. Berkebun
Ajaklah anak-anak mengenal dan mencintai tanaman dengan berkebun. Tanamlah biji-biji apapun atau segala macam tanaman hias pada tanah/pot-pot. Dari hari ke hari tanaman itu akan tumbuh dan berkembang. Tanamkan pada anak rasa syukur serta takjub akan ciptaan Allah.
e. Dan masih banyak lagi
DAFTAR PUSTAKA

FILSAFAT ILMU


Filsafat ilmu merupakan suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah. Filsafat ilmu adalah pembandingan atau pengembangan pendapat-pendapat masa lampau terhadap pendapat-pendapat masa sekarang yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah.

Filsafat ilmu merupakan paparan dugaan dan kecenderungan yang tidak terlepas dari pemikiran para ilmuwan yang menelitinya. Filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai suatu
disiplin, konsep, dan teori tentang ilmu yang sudah dianalisis serta diklasifikasikan. Filsafat ilmu adalah perumusan pandangan tentang ilmu berdasarkan penelitian secara ilmiah.
Inti sari filsafat ilmu
Ciri-ciri dan cara kerja filsafat ilmu
  • Mengkaji dan menganalisis konsep-konsep, asumsi, dan metode ilmiah.
  • Mengkaji keterkaitan ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya.
  • Menkaji persamaan ilmu yang satu dengan yang lainnya, tanpa mengabaikan persamaan kedudukan masing-masing ilmu.
  • Mengkaji cara perbedaan suatu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
  • Mengkaji analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya.
  • Menyelidiki berbagai dampak pengetahun ilmiah terhadap:
    • Cara pandang manusia
    • Hakikat manusia
    • Nilai-nilai yang dianut manusia
    • Tempat tinggal manusia
    • Sumber-sumber pengetahuan dan hakikatnya
    • Logika dengan matematika
    • Logika dan matematika dengan realitas yang ada
Cara filsafat ilmu melakukan penelitian, pengkajian, dan penyelidikan meliputi:
  • Sebab akibat
  • Pemastian
  • Penggolongan
  • Pengendalian
  • Hukum
  • Pengukuran
  • Model
  • Ramalan
  • Kemungkinan
  • Teori
  • Pembenaran
  • Deduksi
  • Definisi
  • Fakta empiris
  • Induksi
  • Hipotesis
Fungsi filsafat ilmu
  • Alat untuk menelusuri kebenaran segala hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah.
  • Memberikan pengertian tentang cara hidup dan pandangan hidup.
  • Panduan tentang ajaran moral dan etika.
  • Sumber ilham dan panduan untuk menjalani berbagai aspek kehidupan.
  • Sarana untuk mempertahankan, mendukung, menyerang atau juga tidak memihak terhadap pandangan filsafat lainnya.

Melihat uraian di atas, filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Dengan demikian, filsafat ilmu sangatlah penting peranannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Tentu juga, filsafat ilmu sangat bermanfaat bagi manusia untuk menjalani berbagai aspek kehidupan.

ILMU FILSAFAT DAN TEOLOGI


BAB 1
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI

“Aku datang - entah dari mana,
aku ini - entah siapa,
aku pergi - entah kemana,
aku akan mati - entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).

1. Manusia bertanya

Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya.  Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:

“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?”  --  Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.

Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:

“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
 dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”

2.  Manusia berfilsafat

Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu.  Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan.  Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,  sistematis dan  koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan). 

Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia ...  Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran".

Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat.  Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari  ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian.  Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir.  Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu  hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" =  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.

Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere  = menjauhkan diri dari, mengambil dari).  Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Aras abstraksi pertama - fisika.  Kita mulai berfikir kalau kita mengamati.  Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).

Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”.  Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb.  Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan.  Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”.  Akan tetapi  karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.

3.  Manusia berteologi

Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman.   Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini.  Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.

Iman adalah sikap batin.  Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya.  Jika iman yang sama (apapun makna kata "sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan.  Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan.  Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.

Catatan.
 
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu ("'ilm") telah digunakan dalam teks Al Qur'an.  Kedekatan kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti.  Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan", Gema Insani Press, 1998.  Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata "ilmu" dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan "dari bawah". Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan "dari atas" nyata pada agama-agama samawi:  Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas "sapaan" Allah itu.

Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: "aku tahu kepada siapa  aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur "intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.

4.  Obyek material dan obyek formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat".  Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.  Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan).  Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.  Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.  Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi  (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

5.  Cabang-cabang filsafat

5.1.  Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ...  Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:

1. filsafat tentang pengetahuan:
    obyek material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran
            epistemologi;
            logika;
            kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
    obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
            metafisika umum (ontologi);
            metafisika khusus:
                        antropologi (tentang manusia);
                        kosmologi (tentang alam semesta);
                        teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
    obyek material : kebaikan dan keindahan
            etika;
            estetika;
4. sejarah filsafat.

5.2.  Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.  Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan?  Dari mana asalnya?  Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain.  Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan. 

5.3.  Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan sebaginya.

 5.4.  Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia.  Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane. 

Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X.  Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.

Catatan lain. 

1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya.  Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu".  Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?

2. Sekaligus juga patut ditanyakan "dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini?  Pastilah "hati" itu (misalnya dalam kata "sakit hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa  oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit.  Periksa pula apa yang tersirat dalam kata "batin", "kalbu", "berhati-hatilah", "jantung hati", "jatuh hati", "hati nurani", dan "suara hati".

3.  Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat.  Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata.  Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and distinctly"), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.

6.  Refleksi rasional dan refleksi imani

Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel -- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih",  mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka.  Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi).  Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.

Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut "negara Israel".

Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal.  Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal  dan merupakan  cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi).  Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa itu.  Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.

Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.

Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif" tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak benua India.  Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari. 

Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai  pedoman untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini.  Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta.  Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil.  Bagi Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui "perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama.  Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa  landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.

Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan mandiri.  Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok  manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan. 

Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia?  Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: "Manunggaling Kawula Gusti" (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.